Kamis, 11 Juli 2013

Kisah Kolo Toure Si Penjual Kecap Nomor Satu


Kolo Toure menjadikan sepakbola sebagai mata pencaharian utamanya, sekaligus menjadi penjual kecap untuk penghasilan tambahan di Liverpool.

Kakak kandung Yaya Toure ini baru dua pekan lamanya resmi bergabung dengan Merseyside Red, dan di waktu yang masih amat sangat prematur untuk ukuran usia kandungan, ia sudah berbicara banyak tentang klub barunya dan juga mantan-mantan klubnya.

Toure bukanlah tipe pemain yang loyal. Dalam waktu empat tahun ia berganti jersey sampai tiga kali di negeri yang sama: Arsenal, Manchester City, dan Liverpool. Pemain seperti ini biasanya hanya mencari kesenangan pribadi semata, oleh karena itu bukanlah merupakan hal yang sulit bagi mereka bergonta-ganti klub dengan berbagai alasan.

Ada dua faktor besar yang mempengaruhi kepindahan seorang pemain sepakbola, yaitu uang dan trofi. Alasan kepindahan Toure dari Arsenal pada 2009 silam tentunya bisa diterima dengan akal sehat. Pastinya karena uang. Atau mungkin trofi. Atau mungkin karena ia mengejar uang ia tak sengaja mendapatkan trofi. Whatever lah ya.

Di Arsenal, terakhir kali ia memenangkan trofi adalah Piala FA, tahun 2005. Toure tak mau berjudi dan menunggu delapan tahun lamanya untuk bisa mengangkat sebuah trofi. Jika ia masih bertahan di North London saat ini, ia harus kuat puasa selama delapan tahun, itupun dengan catatan Arsenal berhasil memenangkan trofi musim depan. Jika tidak, Arsenal akan resmi berganti nama dari ‘Delapan Tahun Tanpa Gelar’ menjadi ‘Sembilan Tahun Tanpa Gelar’ di akhir musim, dan angka ini bisa bertambah setiap tahunnya.

Satu trofi Premier League dan satu Piala FA di Etihad Stadium sepertinya cukup memuaskan dahaganya sehingga ia memutuskan untuk bergabung dengan Liverpool. Ia hanya butuh waktu tiga tahun di City untuk bisa mengangkat kembali trofi Premier League yang pernah ia menangkan pada 2004 silam di era Invincibles Arsenal. Hal yang tak biasa terjadi pada transfer Toure, dari klub bergelimang harta yang punya peluang juara lebih besar, ia hijrah ke klub yang faktor finansial dan faktor kemungkinan juaranya lebih kecil.

Apapun alasannya, toh bek timnas Pantai Gading ini pasti akan berkilah dengan mengatakan bahwa dirinya sudah tidak diminati lagi di City, berdasarkan minimnya jam terbang yang diberikan padanya. Toure pasti akan menganggap pemain seperti Paolo Ferreira adalah pemain bodoh, yang meski sudah tidak dibutuhkan tapi mau duduk manis di bangku cadangan Chelsea hampir di setiap pertandingan walaupun dibayar gaji yang cukup mewah. Dalam hal ini, Toure tak bisa menyamakan dirinya dengan Ferreira. Ya, ia jauh lebih banyak maunya.

Dalam sebuah wawancara yang saya baca di tempat latihan Liverpool di Melwood, Toure mengatakan bahwa meski Liverpool bukanlah tim yang ada di empat besar, tapi Liverpool adalah tim yang punya sejarah dan kualitas. Entah kenapa, sejak menggunakan jersey The Reds cara berpikir Toure layaknya fans Liverpool yang amat sangat akrab dengan kata sejarah. You don’t live in history, do you?

Toure juga mengatakan bahwa klub barunya itu adalah klub pemenang. Yeah, right. Ia hanya berusaha menjual kecap untuk memenangkan hati para fans Liverpool. Klub yang menjadikan Kenny Dalglish sebagai dewa di Anfield ini memang merupakan klub pemenang dan mendominasi sepakbola Inggris dan cukup ditakuti di Eropa. Tapi itu tahun 80-90an. Sekitar 20 tahunan lalu. Sudah lama sekali.

Setelah resmi menjadi pemain Liverpool, ia meremehkan dua mantan klub yang pernah membesarkan namanya, Arsenal dan City. Bisa dilihat ketika ia menyarankan Luis Suarez untuk bertahan di Anfield, karena punya peluang untuk memenangkan gelar lebih banyak dibanding mantan klub yang pernah ia bela selama tujuh musim itu. Ia juga menyatakan kekecewaannya pada City karena tak dilibatkan di Liga Champion musim lalu. Ini lucu, meski punya tempat di skuad utama sekalipun, toh ia juga tahu bahwa dirinya tak bisa bermain di Liga Champion untuk Liverpol musim depan.

Liga Champion adalah kata asing yang sudah lama tak didengar oleh para pemain Liverpool dan juga seluruh fansnya. Saya yakin tak ada satupun orang di Anfield ingin membicarakan tentang Liga Champion saat ini. Penyakit amnesia mendadak mereka akan kambuh, jika anda membicarakan mengenai hal ini pada mereka.

Toure adalah salah satu contoh pemain hebat yang tidak tahu bagaimana cara menghormati klub yang pernah ia bela. Sebagai seorang pesepakbola profesional, ia mungkin belum cukup sukses. Namun sebagai seorang penjual kecap, ia jagonya.

Source: www.bolatotal.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar