Kamis, 27 Juni 2013

Triangle Symbiotic Mutualism?


Bursa transfer musim panas yang belakangan cukup adem ayem mendadak ramai ketika seluruh media membicarakan tentang kepergian Carlos Tevez dari kota Manchester menuju kota Turin.

Carlos Tevez akan diperkenalkan untuk pertama kalinya sebagai pemain baru di Serie A melalui konferensi pers pertamanya di klub barunya. Semua orang tahu bahwa Tevez adalah pemain hebat yang tak perlu diragukan lagi. Sayangnya ia juga mempunyai sisi negatif yang cukup mencolok. Bomber timnas Argentina itu dikenal sebagai salah satu pemain yang kontroversial.

Tak hanya aksinya di dalam lapangan, kepindahannya kali ini yang lumayan mendadak juga tak jauh dari berita yang cukup kontroversial. Kepergian Tevez tak hanya menjadi polemik bagi fans mantan klubnya (Manchester City), tapi juga fans klub barunya (Juventus). Setelah hengkang dari Etihad Stadium dengan harga yang relatif murah, Tevez diberikan nomor yang sangat dikeramatkan oleh fans Juve. Hal ini membuat pendukung kedua belah pihak cukup geram.

Juventus tak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk mendatangkan seorang striker hebat, hanya butuh 10 atau 12 juta uang Inggris untuk bisa mendapatkan tanda tangan Tevez. Tim yang paling banyak meraih scudetto ini bahkan hanya perlu menambah 5 juta lagi jika mereka kembali menjadi jawara Serie A dan lolos ke semi final Liga Champion musim depan, kira-kira begitu yang tertulis dalam klausul kontrak yang berdurasi tiga tahun tersebut.

Kepergian Tevez tentu menjadi kerugian besar untuk City jika kita melihatnya dari sisi investasi. Pasalnya pada musim panas 2009 lalu ia didatangkan dari Manchester United dengan harga yang sangat fantastis, 47 juta Pounds, saudara-saudara. Kehilangan 35-37 juta Pounds mungkin tak begitu berarti bagi Sheikh Mansour, mungkin uang sebesar itu ia berikan setiap hari pada anaknya untuk jajan di sekolah. Mungkin. Namanya juga horang kayah.

Bagaimana jika ada faktor lain yang tak terungkap di media? Tanpa perlu menghitung nominal kerugiannya, kepergian Tevez adalah saran dari Manuel Pellegrini, misalnya. Di usianya yang nyaris genap 60 tahun, pelatih kelahiran Santiago, Chili, itu mungkin terlalu tua untuk membimbing anak bengal seperti Tevez. Ia bisa terkena serangan jantung mendadak jika punya pemain yang selalu melawan ketika dinasehati seperti Tevez.

Seperti yang kita ketahui bersama, sebelumnya Tevez lebih menjadikan Roberto Mancini layaknya lawan sparring daripada seorang pelatih. Ia tidak hormat pada mantan pelatih City itu, ia bahkan menolak mentah-mentah instruksi Mancini untuk dimainkan ketika City bersua Bayern Munich di babak grup Liga Champion musim lalu. Tak hanya itu, ia kabur kembali ke rumahnya di Argentina, seolah City adalah klub kakek moyangnya yang bisa ia perlakukan seenaknya sendiri. Setelah sempat murka, Mancini melembek dan memberikannya kesempatan untuk kembali bermain di bawah asuhannya. Tevez was a lucky man.

Rupanya keberuntungan Tevez sebagai pemain sepakbola tak hanya sampai di situ, setelah resmi bergabung dengan Juve, ia diberikan nomor punggung 10 peninggalan legenda klub Juventus, Alessandro Del Piero. Hal ini tak hanya mampu membuat fans Juventus terheran-heran, bahkan saya yakin fans Inter Milan pun akan sama herannya meski mereka sebenarnya tidak peduli.

Selain karena alasan Tevez bukan orang Italia, ada nama-nama lain yang sebenarnya lebih layak menggunakan nomor punggung 10 di Juventus. Sebastian Giovinco atau Claudio Marchisio sepertinya lebih cocok, atau mungkin Andrea Pirlo jika ia berminat. Fans Juventus tentu lebih rela jika nomor punggung keramat itu diberikan pada mereka daripada diberikan untuk seorang Tevez. Atau mungkin saja ada faktor lain yang berperan di sini, jangan-jangan Juventus menawarkan sendiri nomor punggung 10 itu agar Tevez mau bergabung dengan mereka? Bisa saja.

Dibalik polemik yang terjadi, kepindahan Tevez dari City ke Juve adalah good business antara satu sama lain. Ada simbiosis mutualisme yang terjadi antara Tevez, City, dan Juve:

Tevez mendapatkan nomor punggung 10 yang merupakan nomor punggung keramat klub, City dan Pellegrini mendapatkan kebahagiaan di dalam skuatnya karena tak perlu menyimpan duri dalam daging, dan Juve mendapatkan seorang striker hebat hanya dengan mengeluarkan uang receh. Triangle symbiotic mutualism.

Source: www.bolatotal.com

Rabu, 26 Juni 2013

La Liga Yang Semakin Tidak Menarik


“La Liga adalah liga terbaik di dunia,” kalimat tersebut hanya akan anda dengar dari fans Barcelona dan Real Madrid saja.

Liga terbaik di dunia? Yeah, right. Dimana sisi menariknya menunggu pemenang antara dua kelinci di tengah-tengah lomba lari kura-kura? Jika bukan kelinci A, pasti kelinci B yang keluar menjadi juara. Sedangkan 18 kura-kura lain yang mengikuti lomba hanyalah figuran.

La Liga adalah Barcelona dan Real Madrid. Selama lebih dari 80 tahun bergulir, hampir di setiap musimnya hanya dua tim itu yang silih berganti menjadi pemenang. Tim-tim lain juga pernah sesekali merasakan gelar juara, namun layaknya pemenang hiburan mereka pun hilang ditelan bumi dan kesulitan untuk mengimbangi kekuatan dua kutub sepakbola negeri Matador itu.

Anda punya segudang alasan untuk menjadi fans garis keras Barcelona dan Real Marid. Namun jangan bantah juga alasan mengapa fans liga lain menertawakan persaingan rutin pemenang yang hanya itu-itu saja di Spanyol. Saya (dan mungkin kebanyakan orang) yakin hanya pertemuan kedua tim itu saja yang bisa membuat anda bersemangat dan tetap terjaga sampai subuh untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Pertandingan lain? Ah, kalau ngantuk lebih baik tidur saja.

Artikel ini saya buat setelah akhirnya mengetahui siapa suksesor Jose Mourinho. Orang yang kini resmi menduduki kursi pelatih di Madrid adalah Carlo Ancelotti, salah satu pelatih sepakbola di dunia ini yang saya idolai. Mantan pelatih AC Milan dan Chelsea ini resmi hijrah ke Santiago Bernabeu setelah satu setengah musim dipercaya menukangi tim kaya baru asal Perancis, Paris Saint-Germain. Sebenarnya rumor kepindahannya sudah tercium begitu Mourinho resmi diperkenalkan (lagi) di Stamford Bridge, namun baru hari Selasa kemarin Ancelotti dipastikan akan melatih di sana paling tidak (jika sesuai kontrak) sampai 2016 mendatang.

Sebagai pelatih yang saya idolai, sedikit-banyak saya cukup mengenal sosok dan kepribadiannya. Menyaksikan penuh dua musim Chelsea di bawah asuhannya, saya pun memutuskan untuk jatuh cinta pada pria berkebangsaan Italia itu. Nyaris bertolak belakang dengan pendahulunya di Madrid, Ancelotti adalah pelatih yang kalem. Ia bukanlah contoh pelatih yang doyan menjual kecap di setiap konferensi pers, saya hampir tidak ingat kapan terakhir kali Ancelotti melakukan psy war dengan rivalnya di media. Ancelotti adalah sosok yang hangat dan bersahabat.

Sebelumnya di bawah asuhan Mourinho, Real adalah tim yang sangat dibenci oleh fans Barcelona di belahan dunia manapun. Komentar pedas dan aksi kontroversial Mou pada mantan klub yang pernah membesarkannya itu membuat rivalitas antara kedua tim menjadi semakin panas. Nyaris di setiap El Clasico, banjir kartu kuning, kartu merah, intrik, dan juga kericuhan marak terjadi. Colokan mata Mou pada Vilanova yang saat itu masih menjabat sebagai asisten pelatih Pep Guardiola tak akan dilupakan oleh fans Barcelona pada khususnya, dan fans sepakbola pada umumnya. Kejadian langka yang pernah ada di dunia persepakbolaan.

Hengkangnya Mourinho dari La Liga akan mengurangi cita rasa Liga Spanyol itu sendiri. Jika sebelumnya El Clasico selalu ditunggu karena tensi pertandingan yang sangat tinggi, kedatangan Ancelotti akan membuat rivalitas antara kedua tim semakin  berkurang bahkan cenderung tidak menarik. Hal positif yang bisa dipetik di sini adalah citra Real Madrid yang akan semakin membaik, seiring dengan pembawaan pelatihnya yang relatif sabar.

Jika sebelumnya para penikmat sepakbola merasa bosan karena disuguhkan pemenang yang hanya itu-itu saja, saya memprediksi La Liga musim depan akan jauh lebih membosankan. Persaingan antara Ancelotti dan Vilanova akan cenderung mengarah ke persaingan yang sehat dan bersahabat. Keduanya tidak akan terlibat di dalam perang urat syaraf, bahkan cenderung untuk memuji satu sama lain. Hal ini tentu akan membuat La Liga tidak lagi semenarik sebelumnya.

Mari kita sama-sama berdoa supaya prediksi saya salah.

Source: www.bolatotal.com

Selasa, 25 Juni 2013

Thibaut Courtois, Si Hebat Yang Tak Diinginkan


Muda, ber-skill tinggi, dan terkenal. Thibaut Courtois punya semua yang diimpikan oleh semua pemain sepakbola di planet ini. Dengan segala kehebatannya saat ini, terlalu miris jika kenyataannya ia tak diinginkan oleh sebuah klub sepakbola.

Tolong beri tanda petik dan garis bawah di kalimat terakhir. Yang saya maksud di sini bukanlah ia benar-benar tak diinginkan, melainkan ia tak diprediksi akan sehebat saat ini oleh klub yang meminjamkannya ke Atletico Madrid.

Adalah Chelsea yang beruntung bisa mendapatkan kiper bertalenta itu dari Racing Genk, sebuah klub yang mungkin tidak begitu dikenal asal Belgia. Sejak didatangkan pada Juli 2011, Courtois sama sekali belum pernah merasakan atmosfer Stamford Bridge. Chelsea langsung meminjamkannya ke Atletico Madrid yang kebetulan baru saja ditinggal oleh David De Gea yang hijrah ke Old Trafford.

Alasan Chelsea meminjamkannya ke Atletico tentu cukup sederhana, klub yang dimilikin oleh Roman Abramovich itu ingin Courtois menggali ilmu lebih banyak karena punya garansi jam terbang yang lebih tinggi di Spanyol. Kebetulan mereka sudah mempunyai seorang Petr Cech, jaminan utama yang sudah menjadi kiper nomor satu sejak kedatangannya ke Stamford Bridge pada 2004 silam.

Chelsea juga sudah punya pelapis Cech yang terbilang lumayan di bawah mistar gawang, mereka adalah Ross Turnbull dan juga Henrique Hilario. Menumpuknya posisi kiper membuat Chelsea tak punya pilihan lain selain mengizinkan Atletico meminjam pemain yang mengawali karirnya sebagai bek kiri tersebut.

Mempunyai status sebagai pemain pinjaman, Courtois tak merasa minder dan butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan klub asal ibukota negeri Matador itu. Ia tampil sebanyak 52 kali dan membantu Atletico memenangkan Europa League di musim perdananya. Tak hanya itu, musim 2012/2013 mungkin lebih berkesan lagi. Ia mengejutkan klub yang ‘tak menginginkannya’ dengan memenangkan UEFA Super Cup. Chelsea yang berstatus jawara Liga Champion malah harus bertekuk lutut 4-1 dari Atletico yang hanya mampu juara di kasta kedua di Monaco.

Tak hanya itu, di derby Madrid pada partai pamungkas Copa Del Rey akhir musim kemarin, ia menjadi faktor penting mengapa Cristiano Ronaldo cs. kesulitan membobol gawang sang rival. Atletico mengukuhkan diri menjadi juara sekaligus ‘memaksa’ Jose Mourinho yang saat pertandingan itu diusir oleh wasit angkat kaki dari Santiago Bernabeu karena tak mampu mempersembahkan satu trofi pun musim lalu. Ironisnya Mourinho kembali ke Chelsea, klub yang memiliki Courtois.

Di akhir musim, setelah mendengar bahwa Chelsea melepas Hilario yang gantung sepatu, timbul pertanyaan besar di benak saya. Apakah ini berarti Chelsea akan memanggil pulang Courtois? Dengan skill yang dimilikinya saat ini, tentu ia terlalu hebat untuk sekedar menjadi pelapis Cech. Jujur saja, The Blues memang butuh pelapis yang bagus untuk posisi kiper. Dan meminjam istilah dari teman saya seorang jurnalis yang merupakan seorang fans Chelsea, Courtois is not just good, he’s one of the best in the world right now. Membiarkan ia berada di bangku cadangan dan menyia-nyiakan bakat besarnya rasanya merupakan sebuah kejahatan di dunia sepakbola.

Sayangnya sebuah tim sepakbola hanya membutuhkan seorang kiper di setiap pertandingan, ini berarti posisi ini mutlak hanya bisa diisi oleh satu orang. Cech dan Courtois mungkin hampir sama bagusnya, tapi mereka tidak bisa dimainkan bersama layaknya posisi lain dalam sebuah tim sepakbola. Sampai jaman kuda makan nasi pun sepertinya tidak akan pernah mungkin.

Pertanyaan saya pun akhirnya terjawab ketika tadi subuh Chelsea mengumumkan bahwa mereka memperpanjang masa peminjaman Courtois di Atletico satu musim lagi. Ini berarti tak perlu ada pemandangan wajah tampan Courtois di bangku cadangan Chelsea selama satu musim ke depan. Setidaknya hal ini membuat Courtois bisa bernafas lega dan bisa bermain lebih banyak lagi di Atletico.

Namun hal ini hanya bersifat sementara, pertanyaan yang sama akan mencuat di benak saya atau fans Chelsea di belahan dunia manapun musim depan. Apakah Chelsea akan memanggilnya pulang di akhir musim?

Just FYI, saat ini Cech baru berusia 31 tahun. Dan umur bukanlah menjadi kendala serius bagi seorang pemain sepakbola, berkaca pada Edwin van der Sar yang baru pensiun di atas 40 tahun, atau Gianluigi Buffon yang saat ini masih cukup bagus di Juventus dan juga timnas Italia di usianya yang sudah menginjak 35 tahun. Ini berarti jalan Cech di Chelsea masih cukup panjang, setidaknya ia masih punya empat tahun lagi untuk tetap bersinar dan menjadi andalan di Chelsea. Apakah Courtois mau menunggu selama itu untuk bisa menempati posisi kiper utama di skuat Chelsea?

Zamora trophy yang dimenangkannya karena menjadikan Atletico sebagai tim yang kebobolan paling sedikit (27 gol) di La Liga musim lalu adalah salah satu bukti kehebatannya. Ia juga mencatatkan sejarah sebagai kiper termuda yang pernah menembus timnas Belgia. Dengan segala pembuktiannya saat ini, tentu menyedihkan untuknya jika kenyataannya ia tak benar-benar diinginkan.


Kamis, 20 Juni 2013

The X Factor


Jika anda membaca judul artikel ini, yang pertama anda bayangkan adalah sebuah panggung megah dengan tata cahaya dan sound system yang mewah sebagai latar belakang kompetisi para penyanyi berbakat yang setiap minggunya dikomentari oleh juri dan dieliminasi sesuai hasil voting terendah.

Sayangnya saya tak membicarakan tentang mengapa Fatin yang keluar menjadi juara di kompetisi tersebut padahal ia pernah lupa lirik saat menyanyi, atau sedikit melenceng dari kompetisi, gosip hubungan asmaranya dengan Mikha misalnya. Saya sedang membicarakan hal lain, tentunya yang berhubungan dengan sepakbola.

X Factor terkadang menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau bahasa manapun, melainkan lebih ke sesuatu yang hanya bisa dirasakan. Dan saya ingin mengaplikasikan kata yang belakangan sering kita dengar di televisi ini ke dalam dunia sepakbola. Yang sebenarnya ingin saya bahas di sini adalah X Factor keputusan seorang pemain memilih klub barunya.

Jika anda menganggap hanya ada dua alasan seorang pemain mengambil keputusan untuk memilih klub barunya, mungkin anda salah. Why you always talk about money and trophy, but never talk about the X Factor?

Kedatangan para pemain Brazil di skuat Chelsea adalah salah satu contohnya. Waktu pertama kali Ramires didatangkan Chelsea dari Benfica di musim panas 2010, saya tak pernah menyangka bahwa akan menyusul kompatriotnya, David Luiz dan juga Oscar. Jika anda menganggap bahwa dua pemain itu bergabung dengan Chelsea karena alasan uang atau trofi, mungkin anda tak sepenuhnya benar. Mungkin ada X Factor yang membuat Luiz dan Oscar mau memilih Chelsea sebagai klub barunya, yaitu alasan lain yang tak hanya sekedar karena klub itu kaya dan juga punya peluang untuk memenangkan trofi. X Factor itu mungkin adalah Ramires.

Tak banyak orang tahu bahwa Ramires adalah salah satu teman akrab Luiz. Selain berasal dari negara yang sama, mereka juga berasal dari klub yang sama pula, Benfica. Merapatnya Luiz ke Stamford Bridge sedikit-banyak adalah karena pengaruh dari Ramires. Siapa yang tahu jika Chelsea menggunakan Ramires sebagai mediator terselubung untuk mengajak Luiz bergabung dengannya di London? Ini yang tadi saya namakan X Factor. Setelah ada Ramires dan Luiz, tak sulit untuk mengajak Oscar ikut bergabung pula. Kebetulan ketiganya menjadi andalan di timnas Brazil, membuat mereka cukup sering bertemu.

Pemikiran ini dikuatkan oleh cerita yang baru saja dikatakan oleh seorang teman saya yang baru pulang dari Stamford Bridge. Selain berkesempatan untuk menyaksikan Chelsea bertanding secara langsung, ia juga mengikuti sesi tur stadion. Ia mengatakan bahwa di dalam ruang ganti Stamford Bridge, locker Ramires, David Luiz, dan juga Oscar disusun secara berdampingan. Hal ini menunjukkan bahwa ada kedekatan khusus diantara ketiganya, selain alasan agar mereka bisa berkomunikasi dengan lancar.

Hal serupa bisa terjadi di Manchester United. Klub itu mempunyai nama, sejarah yang besar, dan juga jumlah trofi yang banyak. Tak hanya itu, tim asuhan David Moyes ini juga punya kekuatan finansial yang luar biasa. Saya tak akan heran jika nantinya rumor mengenai kepindahan Thiago Alcantara ke Old Trafford menjadi kenyataan. Selain harga tebusannya dari Barcelona yang relatif murah, ada X Factor yang bisa membuatnya menentukan pilihan.

Bersama dengan David De Gea, Thiago baru saja memenangkan trofi Euro U-21 bersama timnas Spanyol U-21. Kebetulan di partai final Thiago mencetak hat-trick dan seperti halnya para pencetak tiga gol di setiap pertandingan, ia membawa pulang salah satu bola yang dipakai di partai final tersebut. Yang menarik di sini adalah ketika seluruh pemain Spanyol menanda tangani bola keberuntungan itu sebagai kenang-kenangan untuk Thiago. Dan apa yang dituliskan oleh De Gea di bola itu bisa menjadi sebuah pertanda.

Mantan kiper Atletico Madrid itu menuliskan ‘Nos Vemos en Manchester’ yang artinya ‘See you in Manchester’ di bola tersebut. Nah, seberapa dekat De Gea dan Thiago sepertinya bisa menentukan masa depan pemain tersebut. The X Factor.

Source: www.bolatotal.com

Rabu, 19 Juni 2013

Dominasi Gila Sepakbola Matador


Perlahan tapi pasti, Spanyol menunjukkan pada dunia bahwa olahraga sepakbola di negaranya bukanlah sekedar bagaimana cara menendang dengan benar si kulit bundar. Mereka serius menekuni bidang olahraga ini, bahkan terlalu serius menurut saya.

Sebelum tahun 2008, saya pribadi tak pernah memperhitungkan dengan serius timnas sepakbola Spanyol di turnamen-turnamen besar. Bukan, bukan berarti mereka tidak tampil baik. Tapi entah mengapa, di level Eropa mereka selalu kesulitan untuk bersaing dengan tim-tim besar lainnya seperti Italia atau Jerman.

Saya mulai memberikan sedikit perhatian pada negara tersebut ketika saya menyaksikan sendiri Fernando Torres mencetak gol tunggal di final Euro 2008, yang memupuskan harapan Jerman untuk menjadi kampiun. Saat Iker Casillas mengangkat trofi pun, saya sempat bergumam dalam hati ‘Ah, menang hoki’.

Dinobatkannya Spanyol menjadi jawara Eropa pada 2008 silam setelah terakhir kali memenangi turnamen tersebut tahun 1964 tentunya membuat saya menganggap hal itu terjadi dengan kebetulan. Apalagi hal itu terjadi setelah mereka memenangi final hanya dengan gol semata wayang. Tentu tak mampu membuat saya takjub, saya yakin pun begitu dengan pemikiran orang-orang.

Sematan pemberian saya ‘Ah, kebetulan’ mulai berganti menjadi ‘Oh, mereka jago’ dua tahun setelahnya, ketika Casillas mengulangi adegan mengangkat trofi di akhir pertandingan final Piala Dunia. Berbekal status juara Eropa, Spanyol sebenarnya sempat tersandung di awal turnamen. Secara mengejutkan mereka harus takluk dari Swiss di pertandingan perdana babak grup, hasil ini bahkan sempat membuat saya tertawa mengejek. This is Africa, what can you do? Begitu pikir saya kala itu.

Kalah di pertandingan perdana rupanya membuat Spanyol bangkit. Bak macan tidur yang dibangunkan dengan cara dipecut oleh seorang anak kecil kurus kering yang mengira itu adalah kucing kampung, sang macan langsung menerkam dan menelan bulat-bulat si anak malang tersebut. Singkat kata, Spanyol berada di final perdananya di tingkat dunia dan berhasil mendapatkan trofi pertamanya pula. Jika anda mau sedikit rajin dan mengecek Wikipedia, Spanyol sebenarnya tak punya prestasi mentereng di Piala Dunia. Mayoritas prestasi mereka di tingkat dunia hanya sebatas babak grup saja. Prestasi terbaik hanyalah perempat final, itupun hanya tiga kali dari sepuluh kesempatan.

Era dominasi keemasan Barcelona rupanya sedikit-banyak membawa dampak positif bagi timnasnya. Dominasi pemain Catalunya membuat tim ini tak perlu waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan saling mengerti satu sama lain. Dari tim pelengkap turnamen, Spanyol menjelma menjadi tim yang paling ingin dihindari oleh lawannya jika mereka boleh memilih.

Dari ‘Oh, mereka jago’ akhirnya resmi berganti menjadi ‘Oke fix, mereka aliens’ setelah saya menyaksikan Spanyol memenangi (lagi) Piala Eropa di tahun 2012. Bukan hanya memenangi, sepertinya lebih dari itu, mereka mencukur habis salah satu kandidat juara lainnya, Italia, dengan skor 4-0. Dan menurut pengetahuan saya, Spanyol mejadi tim pertama yang berhasil back-to-back memenangi turnamen ini. Luar biasa. Tepuk tangan.

Oke, cukup sekian dengan tim senior. Mari kita beralih pada tim berondong di bawah 21 tahun.

Lain hal dengan seniornya, Spanish ABG juga mengulang prestasi serupa di level Eropa. Meski pernah satu kali menjuarai turnamen Euro U-21 di tahun 1998 silam, mereka sempat dipandang sebelah mata setelahnya. Mendapatkan inspirasi dari kakak-kakaknya, kini berondong-berondong ini pun memastikan diri menjadi yang terbaik di Eropa. Saya pun rela jam tidur saya tadi malam terpotong hanya untuk menyaksikan berondong-berondong brewokan ini  mencukur habis berondong-berondong mafioso de Italiano. Hasilnya? Anti klimaks. Skor 4-2 untuk Spanyol. And another back-to-back, exactly follow their seniors.

Meskipun memainkan sepakbola yang cenderung membosankan dengan tiki-taka berputar-putar depan-belakang kanan-kiri kesana-kemari, cara ini cukup sukses membuat lawan takluk dan kesulitan menemukan formula tepat untuk menghentikan dominasi mereka.

Sebenarnya ada yang lebih penting daripada sekedar melihat bagaimana Thiago Alcantara cs. mengajari Italia cara bermain bola sebagai tim. Saya pribadi mulai berpikir jauh ke depan. Jika tim muda Matador saja sudah sedominan ini, saya tak akan heran jika mencicipi tim senior nanti mereka akan mengulangi hal yang sama.

Salut untuk federasi sepakbola Spanyol yang tahu benar bagaimana cara menjadi yang terbaik di Eropa dan dunia, dan yang lebih penting lagi mempertahankan prestasi tersebut. Pembinaan pemain sejak dini adalah kuncinya.  Dan sepertinya kita perlu mengirimkan sejumlah anggota DPR yang rajin studi banding ke luar negeri dengan uang rakyat untuk mempelajari hal ini. Saya yakin rakyat Indonesia akan rela dan ikhlas seikhlas-ikhlasnya jika mereka menghamburkan uang negara untuk sesuatu yang lebih berguna daripada studi banding yang hanya berkedok jalan-jalan dan mendapatkan uang saku. Just FYI, anggota DPR komisi X yang membawahi olahraga dan pariwisata pernah kedapatan berfoto-foto dan membeli tiket pertandingan Real Madrid di Santiago Bernabeu, Spanyol. Padahal mereka mengunjungi negara tersebut untuk alasan studi banding dalam hal lain. Hahaha, shame on you, b*tches.

Oke, kembali ke masalah timnas sepakbola Spanyol. Saat ini tim senior sedang berlaga di Piala Konfederasi. Memang, artikel Pangeran Siahaan menuliskan bahwa turnamen ini adalah turnamen kelas dua dan hanya merupakan pemanasan jelang Piala Dunia. Tapi memenangi turnamen tersebut mampu membuat semangat para pemain untuk menjadi pemenang tetap terjaga. Membiasakan diri menang akan membuat anda mempunyai motivasi lebih untuk menjadi juara di semua pertandingan.

Dan jika pada akhirnya Spanyol yang keluar menjadi juara di turnamen ini, dan membuat keajaiban dunia dengan men-déjà vu-kan Piala Dunia di 2014 nanti, ada baiknya kita mulai memikirkan untuk mengirimkan timnas Spanyol menjadi perwakilan dunia untuk menghadapi turnamen yang lebih besar. Di turnamen antar planet, misalnya.

Source: www.bolatotal.com

Selasa, 18 Juni 2013

Bursa Transfer Musim Panas Versi Obrolan Warung Kopi


Tidak ada tempat lain yang lebih nyaman dari warung kopi. Beberapa orang malah menganggap tempat tersebut sebagai tempat paling enak buat mengobrol, jauh lebih enak dari sekedar ngobrol di tempat tidur dengan pasangan.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan di warung kopi. Entah sejak kapan orang mengubung-hubungkan antara kopi dan mengobrol, yang pasti saat ini kedua kata tersebut mempunyai hubungan erat layaknya John Terry dan Frank Lampard.

Ada cangkir kopi dan orang yang mengobrol di semua warung kopi. Mulai dari warung kopi pinggir jalan, sampai warung kopi yang mempunyai interior mewah dan sering kita jumpai di mall-mall. Khusus di warung kopi kelas atas, variasi obrolannya sangat majemuk. Mulai dari membicarakan bisnis dengan partner, me-lobby klien, reuni sekolah, ngegosip bareng teman akrab, sampai flirting dengan selingkuhan.

Saya bukanlah seorang pecinta kopi, jika pergi ke warung kopi biasanya saya hanya akan memesan teh atau bahkan susu. Bukan, bukan karena alasan kesehatan. Saya hanya tidak menyukai rasa kopi. That’s it.

Kemarin sore saya menyempatkan diri untuk mengunjungi kedai kopi di sebuah mall di bilangan Senayan, setelah sebelumnya janjian dengan seseorang untuk membicarakan masalah pekerjaan. Kebetulan suasana kedai kopi sore itu cukup ramai, padahal waktu belum menunjukkan pukul lima sore atau dengan kata lain belum jam pulang kantor. Tapi hampir dari semua pengunjung kedai itu menggunakan baju kantor. Aneh bukan? Whatever.

Karena  hampir semua kursi di pojok sudah terisi dengan beberapa orang yang sedang asyik mengobrol, saya pun berinisiatif untuk duduk di bagian tengah. Kebetulan tempat saya duduk adalah tempat yang strategis untuk sekedar melihat-lihat pemandangan sekitar (if you know what I mean). Tak hanya itu, saya juga bisa menguping dengan jelas pembicaraan mereka. Setelah memesan secangkir lemon tea hangat pada si pelayan sembari menunggu kedatangan rekan saya, saya mencoba untuk mendengarkan obrolan orang-orang di sekitar saya sambil berpura-pura serius menatap layar telepon genggam saya.

Di samping meja saya, duduk dua orang pria yang sedang mengobrol dengan santai sambil sesekali tertawa. Yang satu seorang pria bersorban yang saya yakin kaya raya, berparas khas Timur Tengah. Satu lagi pria tua beruban dengan pembawaan yang kalem. Kira-kira beginilah pembicaraan mereka.


Pria Bersorban: “Wah, ane lega bisa membujuk ente untuk mengisi jabatan direktur di perusahaan ane. Direktur yang lama ane pecat, gak becus itu kerjanya. Percuma punya prestasi bagus tahun lalu, kalo tahun ini gak punya prestasi apa-apa. Malu-maluin.”

Pria Tua: “Iya, pak. Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan bapak.”

Pria Bersorban: “Ah, ente jangan merendah. Ane tahu ente punya prestasi bagus di dua perusahaan sebelumnya. Mudah-mudahan kedatangan ente bisa membawa keberuntungan buat perusahaan ane tahun depan. Hehehe.”

Pria Tua: “Iya, pak. Saya akan berusaha semampu saya. Hehehe.”


Lain lagi dengan obrolan dua orang pria yang duduk di depan meja saya sambil berbicara dengan cukup serius. Seorang dari mereka menggunakan banyak perhiasan (seolah ingin pamer kalo dia orang kaya), saya yakin ia adalah seorang OKB (Orang Kaya Baru). Seorang lagi berbadan atletis, yang saya yakini adalah seorang atlet dari pembicaraannya. Dan inilah pembicaraan mereka:


Orang Kaya: “Bro, lo maen di tim gue yah! Gue berani nebus lo mahal dari tim lo yang sekarang. Kalo perlu harga tebusannya gue bayar lebih mahal deh dari harga tebusan si Aldo waktu pindah ke Spanyol waktu itu. Lo kan lebih hebat dari dia, tahun ini lo dapet dua penghargaan, dia gak dapet apa-apa.”

Atlet: “Gue sih mau-mau aja, bro. Tapi liat nanti deh ya, gue andalan pelatih gue banget soalnya.”

Orang Kaya: “Yaelah, bro. Ngapain sih lo maen di sana? Tim lo dari dulu gitu-gitu aja. Lagian, ada atau gak ada lo juga mereka sama aja. Medioker. Lo dapet penghargaan aja, tim lo juga masih gitu-gitu aja. Mending lo maen di tim gue, gaji lo gede, lo bisa maen di kompetisi yang lebih keren. Di Perancis. Perancis, bro!”

Atlet: “Iya sih, ntar deh gue bujuk-bujuk lagi pelatih gue. Siapa tahu dia lagi butuh duit, lo siapin aja dulu duit yang banyak. Oke?”

Orang Kaya: “Duit mah gak usah dipikirin. Beres. Horang kayah!”


Namun yang paling menarik perhatian saya adalah dua orang yang duduk di pojokan, meski posisi duduk saya membelakangi mereka, saya bisa mendengar dengan jelas obrolan keduanya. Dari pembicaraan nakal mereka yang saya dengar, saya yakin mereka adalah pasangan selingkuh. Ini isi pembicaraannya:


Wanita: “Mas tahu kan kalo aku udah gak cinta sama Paul? Mas tahu kan kalo aku lagi nungguin putusan sidang cerai sama dia? Semua itu aku lakuin karena aku sayang sama Mas Mirdad.”

Pria: “Iya, aku tahu sayang. Tapi kayaknya si Paul masih cinta sama kamu tuh, buktinya dia gak mau kan waktu kamu minta cerai?”

Wanita: “Bodo, pokoknya aku maunya sama Mas Mirdad. Aku harus cerai secepatnya sama dia, supaya aku bisa nikah sama Mas.”

Pria: “Iya, sayang. Aku juga sayang kok sama kamu. Aku capek kalo ketemu kamu harus sembunyi-sembunyi kaya gini. Mudah-mudahan proses cerai kamu cepet kelar, supaya tahun depan kita bisa nikah.”

Wanita: “Iya, Mas. Saya capek hidup serumah sama dia. Banyak banget tekanan batinnya. Saya gak kuat. Saya mau keluar dari situ, dan tinggal sama Mas.”

Pria: “Sabar, nanti kalo kamu udah resmi cerai juga kamu langsung aku nikahin kok. Sambil nungguin proses sidangnya selesai, untuk sementara ya kita ketemunya ya sembunyi-sembunyi kaya gini ya, cantik.” (sambil mencubit mesra hidung sang wanita)

Wanita: “Ah si Mas bisa aja.” (sambil tersipu malu)


Mendengarkan pembicaraan terakhir, cukup membuat saya shock. Pasalnya si wanita bukanlah wanita yang benar-benar cantik. Jika diperhatikan dengan seksama, gigi wanita itu tergolong relatif tonggos. Kemudian saya berpikir, apa yang membuat pria tersebut kesengsem berat padanya? Ah, mungkin ia punya prestasi hebat di atas ranjang.

Semua pemikiran saya pun buyar seketika, karena tiba-tiba pundak saya ditepuk dari belakang. Ternyata rekan saya sudah datang dan saya tak memperhatikan kedatangannya karena sibuk menguping. Lalu kami pun mulai mengobrol seperti layaknya orang-orang yang datang ke kedai kopi. Obrolan warung kopi.

Source: www.bolatotal.com

Kamis, 13 Juni 2013

Spurs Will Always Be Spurs, With Or Without Bale


Tottenham Hotspur adalah Gareth Bale, tapi Gareth Bale belum tentu Tottenham Hotspur.

Beberapa musim belakangan namanya selalu dibicarakan banyak orang, aksi individunya di lapangan membuat beberapa klub besar terang-terangan menyatakan jatuh hati padanya. Namanya selalu mencuat di setiap bursa transfer, dan hal ini terjadi entah sampai kapan.

Gareth Frank Bale adalah pesepakbola kelahiran Cardiff, Wales, yang menghabiskan seluruh karir sepakbolanya di Inggris. Di usianya yang belum genap 24 tahun, apa yang ia tunjukkan saat ini memang tergolong luar biasa. Tak heran jika dirinya musim ini terpilih sebagai pemenang di PFA Player of the Year sekaligus PFA Young Player of the Year-nya juga. Untuk yang ini kita harus bilang WOW!

Ia mengawali karir sepakbola di usia 16 tahun, dirinya bergabung dengan akademi Southampton dan menjadi pemain termuda kedua yang pernah bermain untuk klub tersebut (di bawah Theo Walcott, iyaa Theo Walcott-nya Arsenal yang pernah Invincibles itu lho). Setahun menjalani akademi, ia sudah dipromosi untuk bermain di tim senior. Dan dari sinilah namanya mulai dikenal orang hingga akhirnya di musim panas 2007 Tottenham resmi memboyongnya ke White Hart Lane.

Ia menjelma menjadi bintang besar di bawah tangan dingin Harry Redknapp dan tampil mempesona. Mengawali karirnya sebagai bek kiri, untuk keperluan tim ia digeser menjadi sayap kiri untuk membantu penyerangan karena punya stamina yang luar biasa. Kini, meski paman Frank Lampard itu sudah diusir dari London Utara, Bale tetaplah mempesona. Harum semerbak pesonanya bahkan mampu membuat Real Madrid bertekuk lutut mengemis cinta sang pemain dengan selalu muncul sebagai pembeli serius di setiap bursa transfer. Saya ulangi, di setiap bursa transfer.

Musim panas ini, Bale kembali dikait-kaitkan dengan Real. Raksasa Spanyol itu tampaknya berambisi untuk menyandingkan Cristiano Ronaldo dan dirinya untuk menambah daya gedor timnya, sekaligus menyaingi duet Lionel Messi-Neymar di Barcelona musim depan. Gaya bermain yang hampir mirip antara keduanya akan membuat bek manapun di La Liga berharap pelatih tim mereka merubah formasi ideal mereka menjadi 6-3-1 setiap bertemu Real, hanya untuk meredam Ronaldo dan Bale. Ronaldo dan Bale di kanan dan kiri? Wah, bahkan untuk membayangkannya saja saya tak mampu.

Apakah kedatangan Bale ke Santiago Bernabeu akan menjadi kenyataan musim panas ini? Bisa saja. Dengan kemampuan yang dimilikinya saat ini, Bale tentu berharap karirnya makin menanjak dengan mencicipi klub yang jauh lebih besar. Tujuan utamanya tentu saja trofi dan kesempatan bermain di Liga Champion, sesuatu yang sulit ia dapatkan di Spurs.

Kebetulan, musim panas ini Real tak sendirian. Paris Saint-Germain juga kabarnya serius ingin meminangnya. Tak tanggung-tanggung, klub kaya baru yang dimiliki oleh kerajaan Qatar itu ingin memecahkan rekor transfer yang saat ini masih dipegang oleh Ronaldo ke Real (80 juta Pounds). Isu ini mencuat karena awalnya PSG tertarik untuk mendatangkan pelatih Spurs, Andre Villas-Boas ke Paris. Carlo Ancelotti memang diisukan kencang akan mengisi posisi pelatih yang kosong di Madrid. Dengan 85 juta Pounds (uang sebesar itu mampu membuat Jakarta banjir dengan air cendol), sepertinya sulit buat Spurs untuk menolak. Bahkan kabarnya PSG tetap ingin memiliki Bale, meski Villas-Boas memilih bertahan di London.

Jika saya adalah Daniel Levy (Chairman Spurs), saya tak perlu berpikir dua kali untuk menjual Bale ke Real atau PSG dengan harga selangit. Bahkan tak hanya merelakannya pergi, saya mungkin juga akan membantunya untuk berkemas. Pemain yang mencetak hat-trick saat bertemu Inter Milan di Liga Champion dua musim lalu itu memang sudah saatnya untuk dilepas. Hasil penjualannya bisa digunakan untuk membeli empat bahkan lima pemain hebat lainnya. Tentu saja ini adalah pemikiran yang rasional. Bukan begitu?

Jika saya adalah Bale, saya akan menerima pinangan Real ataupun PSG tanpa harus berpikir dua kali (juga). The money is not the main reason. Kesempatan untuk memenangkan trofi domestik dan mencicipi Liga Champion tentu lebih berharga daripada menjadi idealis dan bertahan di London Utara. Karena tanpa Bale, Spurs akan tetap menjadi Spurs. Tim papan tengah yang dua musim belakangan di-PHP karena selalu nyaris lolos ke Liga Champion.

Spurs Will Always Be Spurs, With Or Without Bale!

Source: www.bolatotal.com

Rabu, 12 Juni 2013

Apa Nikmatnya Menjadi Suporter Mainstream?


Ketika pertama kali saya memutuskan untuk menjadikan Chelsea sebagai tim favorit saya, saya merasa hanya sendirian.

Chelsea adalah tim yang tak begitu saya kenal di pertengahan tahun 90an, ya kala itu mayoritas pecinta sepakbola di negeri ini memang mengarahkan pandangannya pada sepakbola Italia yang disiarkan secara rutin di stasiun TV lokal. Tak banyak yang tahu dan mengikuti Liga Inggris seperti sekarang ini. Waktu itu, yang saya tahu Chelsea adalah tim medioker yang rajin mengoleksi pemain-pemain tua seperti Ruud Gullit, Gianluca Vialli, dan Gianfranco Zola. Tim yang aneh.

Jujur, saya baru rutin menyaksikan Chelsea ketika tim ini dibeli oleh tukang minyak asal Rusia keturunan Yahudi bernama Roman Abramovich. Yang menarik untuk saya adalah ketika tim yang saat itu dilatih oleh Claudio Ranieri mulai membangun skuadnya. Memang Frank Lampard dan William Gallas sudah berada di sana kala itu, namun belanja besar-besaran senilai 120 juta Pounds di musim panas 2003 mulai menarik perhatian saya.

Terjadi ekspansi besar-besaran di London Barat. Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Juan Sebastian Veron, Hernan Crespo, Claude Makalele, sampai Adrian Mutu ramai-ramai menjelma menjadi power rangers biru di Stamford Bridge. Seiring berjalannya waktu, Chelsea mulai menjadi tim kuat di Liga Inggris. Saat itu mereka menjadi tim yang layak diperhitungkan, karena hanya kalah jumlah poin dari Arsenal yang menjadi juara dengan tak terkalahkan selama semusim (dan selalu dibangga-banggakan oleh fansnya bahkan sampai saat ini).

Tak hanya itu, Chelsea mampu menembus babak semi final Liga Champion di musim yang sama, namun perjalanan mereka harus terhenti oleh AS Monaco yang kala itu menjadi tim kuda hitam. Hasil yang cukup lumayan buat tim kemarin sore bukan? Saat itulah saya mulai jatuh cinta dan memutuskan untuk menjadikan Chelsea sebagai tim favorit. Sepertinya seru mendukung tim medioker yang sedang membangun. Saya adalah tipe orang yang anti kemapanan, mendukung tim seperti Manchester United atau Arsenal saat itu sama sekali tidak menarik minat saya. Dimana seninya mendukung sebuah tim yang mainstream? Pikir saya kala itu.

Namun prestasi yang cukup memuaskan saat itu dianggap gagal oleh si tukang minyak. Hal ini membuat Ranieri harus didepak dan diganti oleh pelatih yang baru. Pelatih itu bernama Jose Mourinho, pelatih yang baru saja memenangkan Liga Champion tiba-tiba ditunjuk untuk melatih tim kesayangan saya. WTF?!

Kedatangan Mourinho awalnya sempat membuat saya ragu, saya tak yakin pelatih yang dikenal songong dan bermulut besar ini bisa sukses menjadi pelatih tim favorit saya. Sialnya, dia berhasil membawa Chelsea menjadi jawara Liga Inggris di tahun 2005 dengan jumlah poin tertinggi sepanjang sejarah, 95 poin. Bahkan Arsenal yang memenangkan trofi emas semusim sebelumnya karena tak pernah kalah saja tak mampu mengumpulkan poin sebanyak itu dalam satu musim. Tak hanya itu, Chelsea juga menjadi tim yang kebobolan paling sedikit di liga, hanya 15 gol. Dan dua angka tersebut menjadi rekor yang belum mampu dipecahkan oleh siapapun hingga saat ini.

Seiring berjalannya waktu, kesuksesan demi kesuksesan yang diraih Chelsea hampir di setiap musim menjadikan tim ini menjadi tim favorit banyak orang juga. Hal yang lumrah memang, jika orang memilih tim favorit di masa kejayaannya. Dan itu adalah hak mereka.

Saya sadar bahwa saya tak lagi sendiri. Puncaknya adalah ketika Chelsea menembus babak final Liga Champion yang kedua. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya ada lebih dari 7000 manusia yang semuanya nyaris menggunakan atribut Chelsea tumpah ruah di sebuah tempat di bilangan Kuningan untuk menyaksikan partai ini. Terjadi gempa bumi kecil di Epicentrum begitu Didier Drogba memastikan kemenangan Chelsea setelah berhasil mengecoh Manuel Neuer di adu tendangan penalti. Chelsea memenangkan Liga Champion yang pertama. Piala yang sangat diidam-idamkan oleh Abramovich.

Kembalinya Mourinho ke Stamford Bridge menjanjikan era kejayaan baru khususnya di level domestik. Dengan hilangnya Sir Alex Ferguson di Premier League, di atas kertas Chelsea menjadi tim favorit untuk menjadi juara di akhir musim nanti. Manchester United tanpa Ferguson bak anak ayam kehilangan induknya, kapabilitas David Moyes masih dipertanyakan untuk membesut tim sebesar United. Saya tak akan heran jika tim itu kehilangan konsistensinya musim depan. Pun demikian dengan Manchester City, kehilangan Roberto Mancini sedikit-banyak akan berpengaruh pada performa tim tukang minyak lainnya itu musim depan.

Chelsea bak kuda balap juara yang mengikuti balapan kuda poni. Faktor pelatih jenius, gelontoran dana besar, dan kekuatan skuat yang mereka miliki saat ini akan membuat tim ini menjadi unggulan musim depan di atas United dan City. Arsenal dan Liverpool tak perlu saya sebutkan di sini, setelah bertahun-tahun dan berpuluh-puluh tahun tak pernah menjadi yang terbaik di Inggris akan membuat fansnya menjadi terbiasa untuk tidak diunggulkan bukan?

Kini tim medioker favorit saya menjelma menjadi tim mainstream (seperti halnya United dan Arsenal ketika saya memutuskan untuk jatuh cinta pada Chelsea). Adik-adik sekalian yang juga memilih tim anti kemapanan saat ini, kalian juga akan melewati apa yang pernah saya lewati saat itu. Saya mengerti betul jika sekarang kalian membenci Chelsea yang sudah menjadi menjelma menjadi tim mapan nan mainstream. Been there, done that.

Inilah nasib dan takdir saya. Lalu apa nikmatnya menjadi suporter mainstream? Huh.

Source: www.bolatotal.com

Selasa, 11 Juni 2013

Pengecut Itu Bernama Jose Mourinho


Jose Mourinho adalah seorang pengecut. Dan sebagai seorang pengecut, sepertinya ia cukup sukses. Berikut ini adalah alasannya…

Mourinho (mungkin) adalah satu-satunya pelatih di dunia yang paling banyak dikejar-kejar oleh wartawan. Bukan karena aksi kontroversialnya di dalam lapangan saja, tapi juga aksi dan komentarnya (termasuk konferensi pers) di luar lapangan. Semua yang berhubungan dengan dirinya pasti akan menjadi hot news dan ramai dibicarakan banyak orang. Saya menggolongkan orang yang terlalu banyak bicara sebagai pengecut.

Beberapa orang tak banyak tahu tentangnya ketika ia masih berada di Porto. Namanya baru mulai banyak dikenal orang ketika ia membawa tim asal Portugal itu memenangkan Liga Champion pada 2004 silam. Setelah memenangi trofi tersebut, Mourinho bergabung dengan Chelsea. Hah? Chelsea? Tim apa itu? Tim kaya baru yang memiliki sumber keuangan bernama Roman Abramovich itu? Oh.

Tak ada yang memperhitungkan Chelsea saat itu. Mentang-mentang ia baru saja memenangkan Liga Champion, ia pikir ia bisa sukses di sini? Cih. Mayoritas fans tim Manchester United dan Arsenal (mungkin termasuk fans Chelsea juga) kala itu pasti sempat berpikir demikian. Mohon maaf sebelumnya apabila saya tidak mencantumkan nama Liverpool apalagi Manchester City (you know the reason why).

Alih-alih gagal, Mourinho malah berhasil membawa Chelsea untuk pertama kalinya memenangi Liga Inggris selama lima puluh tahun. Gelar tersebut seolah menjadi kado manis untuk si klub kaya baru, karena pada tahun 2005 klub itu tepat merayakan centenary (100 tahun). Ajaibnya, ia bisa mengulangi prestasi yang sama setahun setelahnya.

Ah, ia hanya seorang pengecut yang beruntung.

Seiring berjalannya waktu, Mourinho pun pergi meninggalkan klub yang menjadikannya sebagai jutawan. Tepat pada September 2007, setelah kurang lebih tiga tahun menetap di London Barat, Mourinho mengakhiri kisah cintanya dengan Chelsea.

Ah, ia hanya seorang pengecut yang tak tahu berterima kasih.

Sempat menganggur cukup lama, ia baru menerima pekerjaan ketika diminta oleh Inter Milan untuk melatih di sana. Mei 2008 ia resmi diperkenalkan di depan publik Milan, dan banyak orang yang ragu apakah Mourinho bisa mengulang suksesnya di Chelsea. Mampukah? Mengingat ia hanya bisa memenangkan enam trofi di Stamford Bridge dalam kurun waktu tiga tahun. Prestasi yang biasa-biasa saja.

Mourinho membawa Inter menjadi salah tim yang paling ditakuti di Italia, hanya butuh waktu dua tahun melatih untuk memenangkan lima trofi. Bahkan apa yang ia torehkan di Italia cukup manis, pasalnya ia menjadikan Inter sebagai tim pertama di negeri spaghetti yang meraih Treble Winners pada 2010 silam. Kala itu ia berhasil menyandingkan trofi Liga Champion, Serie A, dan juga Coppa Italia. Prestasi yang biasa-biasa saja.

Anehnya, setelah meraih hasil manis di Italia ia pun memilih untuk kembali meninggalkan tim yang ia bangun dan hijrah ke Spanyol. Keputusan ini merupakan keputusan yang cukup kontroversial, mengingat rivalitas yang sangat tinggi diantara dua raksasa negeri matador. Memilih untuk menjadi pelatih Madrid berarti memastikan diri resmi menjadi musuh besar Barcelona (klub yang pada waktu itu mungkin tak memperlakukannya dengan baik sebagai staff dan asisten pelatih).

Ah, lagi-lagi ia hanya seorang pengecut yang tak tahu berterima kasih.

Selama tiga tahun melatih di sana, Mourinho hanya berhasil memenangi tiga trofi saja, tentu saja hasil ini adalah prestasi yang buruk mengingat ia punya CV bagus di tiga klub sebelumnya. Satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan trofi musim ini pun ia buang sia-sia. Bukannya menjadi kampiun Copa Del Rey saat menghadapi Atletico, Mourinho hanya bisa menyaksikan para pemainnya gigit jari di akhir pertandingan dari layar televisi di ruang ganti, setelah dirinya diusir keluar oleh wasit di tengah pertandingan.

Ah, ia hanya seorang pengecut yang memalukan.

Sepekan silam, Mourinho resmi kembali ke London. Ia resmi menjalani konferensi pers perdananya sebagai pelatih Chelsea yang kedua kemarin siang waktu setempat. Dan seperti biasa, pelatih yang kini beruban itu menjual kecap di tengah-tengah para wartawan dengan mengatakan hal-hal manis yang ingin didengarkan oleh fans Chelsea.

Lucunya, di konferensi pers tersebut ia sempat membuat fans Barcelona (dan mungkin fans Atletico Madrid) yang menyaksikan atau membaca transkrip wawancara tersebut tertawa terbahak-bahak. Pada sesi wawancara itu ia sempat berkata demikian: “I hurt Spanish football by breaking Barca's domination." Just FYI, di era Mourinho, Barcelona memenangkan 9 trofi sedangkan Real  hanya 3. Dan yang yang lebih mencengangkan lagi, Atletico memenangi satu gelar lebih banyak dari Real di era Mourinho. Go home Jose, you’re drunk!

Bagi fans Chelsea, kembalinya Mourinho adalah berkah. Ibarat putus dengan pacar gendut yang bisa berbahasa Spanyol dan jadian dengan mantan pacar yang cantik nan aduhai yang punya banyak sekali kenangan manisnya.

Bagi fans Manchester United dan fans Barcelona, kembalinya Mourinho ke Chelsea karena ia gagal mendominasi Spanyol. Oleh karena itu ia memilih pulang ke Inggris dimana Sir Alex Ferguson yang merupakan seteru abadinya sudah pensiun.

Ya, Jose Mourinho adalah seorang yang pengecut.

He said he’s now The Happy One. Of course he’s happy, he has no rivals right now.

Source: www.bolatotal.com

Selasa, 04 Juni 2013

Pelatih Baru, Harapan Baru, Pemikiran Lama?



Baru beberapa jam yang lalu akun Twitter Chelsea Football Club (@chelseafc) mengumumkan bahwa Jose Mourinho resmi ditunjuk sebagai pelatih Chelsea untuk yang kedua kalinya.

Ketika membaca berita tersebut kebetulan saya baru saja berangkat dari rumah dengan mengendarai mobil untuk sekedar mencari makan malam. Mohon jangan tanyakan mengapa saya bisa membaca berita yang di-link ke linimasa, padahal saya tengah mengemudi. Don’t try this at home… I mean while driving. Sesungguhnya artikel ini dibuat bukan untuk membahas mengapa saya masih hidup setelah melakukan adegan ekstrim tadi, atau makanan apa yang akhirnya saya makan setelah mendengar kabar tersebut. So let’s go back to the topic.

Selama saya menikmati makan malam, tangan kiri saya tak pernah lepas dari track pad BlackBerry, sementara kedua mata saya terus menatap linimasa Twitter saya yang penuh sesak dengan fans Chelsea, sedangkan tangan kanan tetap fokus untuk menggerogoti makanan sambil sesekali memasukannya ke dalam mulut. Ya, tentu saja saya tak akan melewatkan euforia sebagai fans Chelsea atas kabar gembira ini. Jose Mourinho memang  bukan pelatih pertama yang memenangkan Liga Champion bersama Chelsea, tapi trofi Liga Inggris pertama yang ia persembahkan untuk tim yang terakhir kali memenangkannya 50 tahun silam pastinya sangat berkesan. Dan yang lebih membuat hal itu berkesan (buat saya khususnya), saya menyaksikan sendiri hal tersebut ketika sejarah itu tercipta.

Setelah menghabiskan satu dada ayam, dua sate kulit, dan dua porsi nasi (well, akhirnya kalian tahu makanan apa yang saya makan malam tadi), saya pun mulai mencoba untuk berpikir (beberapa orang bisa berpikir dengan jernih ketika perutnya sudah kenyang) mengenai hal ini. Dan dalam pemikiran tersebut, muncul beberapa pertanyaan di dalam benak saya.

Semua orang tahu bahwa kedatangan Mourinho ke Chelsea bukanlah yang pertama, saat ini ia datang kembali dengan status yang berbeda, yaitu mantan pelatih. Sebagai pelatih yang punya banyak kenangan manis - dan buruk juga pastinya - tentu ia punya pertimbangan lain mengapa ia memilih untuk kembali lagi ke klub yang pernah memperlakukannya dengan tidak semestinya. Adalah rahasia umum alasan kepergian Mourinho dari Chelsea pada September 2007 silam karena perselisihannya dengan pemilik klub, Roman Abramovich. Orang kaya asal Rusia itu memang terkenal arogan dan sering mengintervensi kebijakan klub, lalu untuk apa ia membayar mahal Chairman, CEO, dan lain sebagainya jika harus ia sendiri yang mengambil kebijakan menurut sudut pandangnya?

Setelah membaca transkrip wawancara perdana Mourinho di Chelsea TV yang dituliskan di www.chelseafc.com dengan penataan spasi yang cukup buruk sehingga membuat mata saya sakit, saya sempat bingung. Setelah apa yang terjadi pada 2007 silam, Mourinho kembali bertemu Abramovich dan mereka hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk sepakat kembali bersama? Luar biasa.
Tentu saja tak pernah ada yang menyangka sebelumnya akan melihat wajah yang sama seperti  yang mereka lihat sekitar 2004-2007 silam - dengan jumlah rambut putih yang berbeda - menghiasi ruang ganti Stamford Bridge. Karena di level profesional, tak banyak pelatih yang sudah memutuskan untuk hengkang, pada akhirnya kembali lagi. Kalaupun ada, sepertinya sulit untuk mengulang kesuksesan yang pernah ditorehkan sebelumnya. Beruntung Jupp Heynckes mematahkan anggapan banyak orang (khususnya saya) beberapa saat yang lalu, ia membawa Bayern Munich memenangkan Treble Winners setelah menyandingkan trofi Bundesliga, Liga Champion, dan DFB Pokal. Heynckes pernah melatih Bayern pada 2009 silam, meski saat itu ia hanya berstatus interim manager. Setelah itu ia melatih Bayer Leverkusen, sampai pada 2011 lalu kembali ke kota Munich dan membuat keajaiban di akhir musim ini.

Hal tersebut membawa harapan baru buat fans Chelsea (khususnya saya) ada pada diri Mourinho untuk mengikuti jejak Heynckes. Jika pada selang waktu 2004-2007 silam Mourinho berhasil membawa Chelsea memenangkan dua gelar Premier League, satu Piala FA, dan dua Piala Carling, tentu saja fans Chelsea berharap Mourinho bisa memenangkan lebih banyak lagi gelar yang belum sempat ia menangkan di Chelsea. Trofi Liga Champion ketiga untuknya pribadi mungkin bisa jadi kado manis kedatangannya kali ini. Atau Piala Super Eropa, misalnya, trofi yang musim ini dibungkus dengan rapih oleh Roberto Di Matteo untuk diberikan pada Atletico Madrid.

Berdasarkan transkrip wawancara di Chelsea TV tadi, Mourinho juga sempat mengatakan bahwa ia sudah menjadi pribadi yang lebih dewasa saat ini. Mantan pelatih Porto ini juga menegaskan bahwa Chelsea butuh stabilitas, sesuatu yang tak pernah dimiliki tim ini di era Roman Emperor. Jika semua berjalan sesuai dengan rencana, ia akan menetap lama di London dan menjadi pelatih lama The Blues.

Pertanyaan besar muncul dibalik pernyataan tersebut. Bagaimana jika semua tidak berjalan sesuai dengan rencana? Apakah ia siap diusir paksa dari Stamford Bridge oleh Abramovich untuk yang kedua kalinya? Semua orang di dunia ini - termasuk nenek saya - tahu bahwa mengakhiri musim tanpa trofi adalah kegagalan bagi perspektif Abramovich.

Jika Mourinho tak mampu mempersembahkan satupun gelar musim depan dan harus dipaksa angkat kaki (lagi), maka kata ‘kestabilan’ dipastikan masih belum tertulis dalam kamus Chelsea Football Club. Dan jika hal itu benar-benar terjadi, hey fans Chelsea, siap sakit hati (lagi)?

Karena sesungguhnya percuma memiliki pelatih dan harapan yang baru, jika masih mempertahankan pemikiran lama.