Rabu, 12 Juni 2013

Apa Nikmatnya Menjadi Suporter Mainstream?


Ketika pertama kali saya memutuskan untuk menjadikan Chelsea sebagai tim favorit saya, saya merasa hanya sendirian.

Chelsea adalah tim yang tak begitu saya kenal di pertengahan tahun 90an, ya kala itu mayoritas pecinta sepakbola di negeri ini memang mengarahkan pandangannya pada sepakbola Italia yang disiarkan secara rutin di stasiun TV lokal. Tak banyak yang tahu dan mengikuti Liga Inggris seperti sekarang ini. Waktu itu, yang saya tahu Chelsea adalah tim medioker yang rajin mengoleksi pemain-pemain tua seperti Ruud Gullit, Gianluca Vialli, dan Gianfranco Zola. Tim yang aneh.

Jujur, saya baru rutin menyaksikan Chelsea ketika tim ini dibeli oleh tukang minyak asal Rusia keturunan Yahudi bernama Roman Abramovich. Yang menarik untuk saya adalah ketika tim yang saat itu dilatih oleh Claudio Ranieri mulai membangun skuadnya. Memang Frank Lampard dan William Gallas sudah berada di sana kala itu, namun belanja besar-besaran senilai 120 juta Pounds di musim panas 2003 mulai menarik perhatian saya.

Terjadi ekspansi besar-besaran di London Barat. Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Juan Sebastian Veron, Hernan Crespo, Claude Makalele, sampai Adrian Mutu ramai-ramai menjelma menjadi power rangers biru di Stamford Bridge. Seiring berjalannya waktu, Chelsea mulai menjadi tim kuat di Liga Inggris. Saat itu mereka menjadi tim yang layak diperhitungkan, karena hanya kalah jumlah poin dari Arsenal yang menjadi juara dengan tak terkalahkan selama semusim (dan selalu dibangga-banggakan oleh fansnya bahkan sampai saat ini).

Tak hanya itu, Chelsea mampu menembus babak semi final Liga Champion di musim yang sama, namun perjalanan mereka harus terhenti oleh AS Monaco yang kala itu menjadi tim kuda hitam. Hasil yang cukup lumayan buat tim kemarin sore bukan? Saat itulah saya mulai jatuh cinta dan memutuskan untuk menjadikan Chelsea sebagai tim favorit. Sepertinya seru mendukung tim medioker yang sedang membangun. Saya adalah tipe orang yang anti kemapanan, mendukung tim seperti Manchester United atau Arsenal saat itu sama sekali tidak menarik minat saya. Dimana seninya mendukung sebuah tim yang mainstream? Pikir saya kala itu.

Namun prestasi yang cukup memuaskan saat itu dianggap gagal oleh si tukang minyak. Hal ini membuat Ranieri harus didepak dan diganti oleh pelatih yang baru. Pelatih itu bernama Jose Mourinho, pelatih yang baru saja memenangkan Liga Champion tiba-tiba ditunjuk untuk melatih tim kesayangan saya. WTF?!

Kedatangan Mourinho awalnya sempat membuat saya ragu, saya tak yakin pelatih yang dikenal songong dan bermulut besar ini bisa sukses menjadi pelatih tim favorit saya. Sialnya, dia berhasil membawa Chelsea menjadi jawara Liga Inggris di tahun 2005 dengan jumlah poin tertinggi sepanjang sejarah, 95 poin. Bahkan Arsenal yang memenangkan trofi emas semusim sebelumnya karena tak pernah kalah saja tak mampu mengumpulkan poin sebanyak itu dalam satu musim. Tak hanya itu, Chelsea juga menjadi tim yang kebobolan paling sedikit di liga, hanya 15 gol. Dan dua angka tersebut menjadi rekor yang belum mampu dipecahkan oleh siapapun hingga saat ini.

Seiring berjalannya waktu, kesuksesan demi kesuksesan yang diraih Chelsea hampir di setiap musim menjadikan tim ini menjadi tim favorit banyak orang juga. Hal yang lumrah memang, jika orang memilih tim favorit di masa kejayaannya. Dan itu adalah hak mereka.

Saya sadar bahwa saya tak lagi sendiri. Puncaknya adalah ketika Chelsea menembus babak final Liga Champion yang kedua. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya ada lebih dari 7000 manusia yang semuanya nyaris menggunakan atribut Chelsea tumpah ruah di sebuah tempat di bilangan Kuningan untuk menyaksikan partai ini. Terjadi gempa bumi kecil di Epicentrum begitu Didier Drogba memastikan kemenangan Chelsea setelah berhasil mengecoh Manuel Neuer di adu tendangan penalti. Chelsea memenangkan Liga Champion yang pertama. Piala yang sangat diidam-idamkan oleh Abramovich.

Kembalinya Mourinho ke Stamford Bridge menjanjikan era kejayaan baru khususnya di level domestik. Dengan hilangnya Sir Alex Ferguson di Premier League, di atas kertas Chelsea menjadi tim favorit untuk menjadi juara di akhir musim nanti. Manchester United tanpa Ferguson bak anak ayam kehilangan induknya, kapabilitas David Moyes masih dipertanyakan untuk membesut tim sebesar United. Saya tak akan heran jika tim itu kehilangan konsistensinya musim depan. Pun demikian dengan Manchester City, kehilangan Roberto Mancini sedikit-banyak akan berpengaruh pada performa tim tukang minyak lainnya itu musim depan.

Chelsea bak kuda balap juara yang mengikuti balapan kuda poni. Faktor pelatih jenius, gelontoran dana besar, dan kekuatan skuat yang mereka miliki saat ini akan membuat tim ini menjadi unggulan musim depan di atas United dan City. Arsenal dan Liverpool tak perlu saya sebutkan di sini, setelah bertahun-tahun dan berpuluh-puluh tahun tak pernah menjadi yang terbaik di Inggris akan membuat fansnya menjadi terbiasa untuk tidak diunggulkan bukan?

Kini tim medioker favorit saya menjelma menjadi tim mainstream (seperti halnya United dan Arsenal ketika saya memutuskan untuk jatuh cinta pada Chelsea). Adik-adik sekalian yang juga memilih tim anti kemapanan saat ini, kalian juga akan melewati apa yang pernah saya lewati saat itu. Saya mengerti betul jika sekarang kalian membenci Chelsea yang sudah menjadi menjelma menjadi tim mapan nan mainstream. Been there, done that.

Inilah nasib dan takdir saya. Lalu apa nikmatnya menjadi suporter mainstream? Huh.

Source: www.bolatotal.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar